Monday, April 18, 2016

Uber adalah cerita startup terhangat di 2014, kenapa?

 

Uber dengan cepat berubah dari media darling (dicintai media) menjadi media villain (dibenci media), semua ini disebabkan oleh kasus pemerkosaan dan penyerangan oleh supir Uber, pernyataan kontroversial eksekutifnya, dan permintaan maaf CEO Uber yang kembali gagal.
Tapi cerita-cerita tersebut telah mengalihkan perhatian dari apa yang paling fundamental: bahwa Uber telah bangkit dari bayi kecil dan menjadi raksasa.
Angka-angka yang didapat Uber seolah menjelaskan semuanya: Uber diproyeksikan menghasilkan pendapatan USD 1,5 miliar (Rp 18,6 triliun) hingga USD 2 miliar (Rp 24,8 triliun) tahun ini, menurut dokumen yang bocor. Putaran penggalangan dana terbaru perusahaan ini membuat Uber mempunyai valuasi USD 40 miliar (Rp 496,5 triliun), dan tampaknya masuk akal jika proyeksi pendapatan tersebut akurat.

Total investasi Uber yang mencapai USD 2,7 miliar (Rp 33,5 triliun) – tidak termasuk rumor pendanaan dari Baidu– adalah hasil dari visinya yang luas, serta banyaknya sumber daya yang diperlukan untuk mencapainya. Saya sudah bicara dengan dua investor Silicon Valley yang melewatkan kesepakatan dengan Uber dan mereka menyesal.

Pada intinya, Uber ingin menyediakan layanan transportasi on-demand untuk semua orang. Meskipun saat ini fokus Uber adalah “mengangkut” orang, visi besar perusahaan ini adalah untuk menggebrak ranah logistik. Dengan ini, kita sekarang bisa lebih mengerti konteks “perang taksi” di Asia dan bagaimana Uber telah mempengaruhi ekosistem startup.

Uber menaikkan valuasi aplikasi taksi
Ketika didirikan pada tahun 2009, Uber dimulai sebagai sebuah perusahaan yang menghubungkan supir pribadi dengan penumpang. Tiga tahun kemudian, Uber meluncurkan UberTaxi, sebuah langkah yang membawa masalah bagi perkumpulan taksi dan membuatnya menghadapi permasalahan hukum sekarang.

Pada waktu itu, layanan taksi sejenis mulai bermunculan di seluruh dunia, dan beberapa bahkan lebih dulu muncul dibanding UberTaxi. Olacabs dan TaxiForSure diluncurkan pada tahun 2011, sedangkan EasyTaxi di Brazil, GrabTaxi di Malaysia, dan Didi Dache dari China diluncurkan pada tahun 2012. Ada juga EasyVan dan GoGoVan yang memberikan layanan logistik on-demand yang mulai diluncurkan pada tahun 2013.


Di permukaan, perusahaan-perusahaan tersebut memiliki strategi yang berbeda. Uber dimulai dengan kendaraan yang seragam, kemudian bercabang menjadi taksi dan sekarang juga menerima pengemudi kendaraan pribadi di sejumlah pasar. Uber baru saja mulai berkecimpung dalam bidang logistik. GrabTaxi dan Didi Dache awalnya hanya menggunakan taksi dan sekarang telah bercabang ke mobil premium. Meski kini mereka mungkin terpisah jauh, tabrakan sudah semakin dekat.
Tahun ini, kita sudah melihat aplikasi taksi berlomba-lomba mendominasi dari kota ke kota. Indonesia sendiri sudah memiliki Uber, EasyTaxi, GrabTaxi, dan Blue Bird yang bersaing satu sama lain. Persaingan ini bisa jadi akan lebih intens tahun depan karena perusahaan-perusahaan tersebut masing-masing saling memasuki ranah pesaingnya.

Titik pertemuan perusahaan-perusahaan tersebut nantinya mungkin adalah apa yang dipikirkan investor ketika mereka mendukung berbagai layanan tersebut. Ini menjelaskan mengapa dana untuk aplikasi taksi telah menggelembung pasca pendanaan Uber yang fantastis pada bulan Juni lalu:
Aplikasi taksi di seluruh wilayah mulai menumpuk uang hanya beberapa bulan setelah Uber melengkapi putaran pendanaan mereka. Jumlah pendanaan yang didapat dalam rentang empat bulan saja bernilai hampir 10 kali jumlah yang didapat pada tahun-tahun sebelumnya.

Beberapa faktor berperan dalam hal ini. Aplikasi taksi tersebut mulai mendapat traksi di kota-kota masing-masing pada sekitar waktu yang sama. Perusahaan VC di Asia kini tengah gencar-gencarnya berinvestasi. Putaran pendanaan Uber yang fantastis pada bulan Juni, dimana investor pasti “penasaran tentang apa yang terjadi” yang membuat mereka bernegosiasi dengan berbagai aplikasi taksi, bisa saja menjadi pemicu naiknya valuasi. Ini adalah perlombaan “senjata” untuk merebut pangsa pasar, dan semakin kuat “senjata” Anda, semakin cepat Anda bisa mendominasi.

Uber untuk X, Uber untuk Y

Keberhasilan Uber memiliki efek lain: founder startup dan entrepreneur wannabe ingin meniru model bisnis Uber untuk bisnis mereka sendiri. Bahkan ada sebuah puisi yang didedikasikan untuk fenomena ini, yang dapat Anda baca secara penuh di Quartz.

Fenomena gaung Uber ini hampir sama dengan fenomena Groupon 2011-2012 dan beauty box pada tahun 2013. Semua orang ingin meniru mereka. Kali ini, model tersebut adalah Uber. Agar adil, GrabTaxi dan aplikasi taksi lainnya tidak disebut tiruan Uber. Tidak jelas sejauh mana Uber menginspirasi layanan tersebut. Aplikasi taksi tersebut diluncurkan sekitar waktu yang sama dengan Uber, sehingga akan lebih akurat untuk menggambarkan perusahaan-perusahaan tersebut sebagai bagian dari fenomena yang sama.

Dan tidak adil untuk menyebut semua startup “Uber untuk X” sebagai tiruan. Beberapa di antaranya bisa sukses dan menjadi bisnis besar di ranah mereka sendiri. Dan meski beberapa founder akan dengan senang hati menyebut startup mereka “Uber untuk X“, sebutan tersebut terkadang dibuat oleh media. Kami menyebut sebuah startup sebagai “Uber untuk X“ bahkan ketika sang founder tidak mengatakannya. Ini hanya sebuah penggambaran untuk membuat pembaca memahami bisnisnya.
Secara garis besar, berikut adalah jenis startup yang biasanya mendapatkan label “Uber untuk X”:
  • Platform web atau mobile yang memungkinkan Anda memesan layanan terlebih dahulu.
  • User experience yang smooth, dengan pencarian, filter, booking, dan kadang-kadang fitur pembayaran ada di dalamnya.
  • On-demand, tapi banyak layanan “Uber untuk X” yang tidak mempunyai fitur ini.
Mereka sebenarnya mirip dengan tren lain: Airbnb dan perkumpulan startup “Airbnb untuk X” lainnya, dan itu bukan suatu kebetulan. Airbnb dan Uber berbagi banyak kesamaan, meskipun sebagian besar persamaannya adalah sama-sama menerapkan ”sharing economy”, dengan menggunakan jaringan untuk memenuhi permintaan pasar dengan kelebihan pasokan sumber daya yang ada. Ciri-ciri utama yang memisahkan Uber dan Airbnb adalah bahwa Uber merupakan layanan on-demand dan berhubungan dengan transportasi, sedangkan Airbnb sudah terjadwal jauh-jauh hari sebelumnya dan menangani sektor perhotelan.

Jadi mengapa semua orang menyebut diri mereka sebagai “Uber untuk X” dibanding “Airbnb untuk Y”? Mungkin karena valuasi. Dengan valuasi “hanya” USD13 miliar, Airbnb tidak lagi tampak keren.

Di sini, di Asia, demam Uber baru saja dimulai. Jurnalis Tech in Asia Paul Bischoff menulis artikel tentang layanan mobil peer-to-peer di China. Investor mengucurkan uang ke tiruan Uber karena Uber tengah hangat-hangatnya sekarang. Selain mobil, Paul juga mengulas Edaixi, layanan laundry on-demand yang mendapat pendanaan dari raksasa internet China, Tencent.
Dengan datangnya 2015 dan valuasi startup meningkat, tampaknya model bisnis “Uber untuk X” akan bermunculan di Asia. Seperti Groupon dan beauty box, yang satu ini juga akan mati, dan yang akan bertahan dan berhasil adalah orang-orang yang tidak hanya meniru Uber tetapi juga memahami mengapa perusahaan ini berhasil.

Uber mungkin telah ditimpa berbagai masalah baru-baru ini, tapi kritikus yang memprediksi bahwa Uber akan “habis” karena hal tersebut mungkin akan menemukan hal yang sebaliknya. Uber adalah bisnis yang sudah terbukti, yang berarti butuh lebih dari sekedar “larangan di berbagai kota” untuk bisa menghentikannya.

No comments:

Post a Comment